17 Desember 2008

Ketika harga semakin tak terjangkau

Inflasi sudah menjadi hal yang lumrah dalam ekononi dunia. Di Indonesia, faktor yang satu ini menjadi sesuatu hal yang tidak linear dengan pertumbuhan ekonomi dan daya beli akibat krisis jilid satu yang belum pulih (plus krisis jilid dua yang sudah mulai terasa dampaknya). Akibat inflasi jelas harga terus naik, sementara pendapatan pas-pasan, bahkan ada juga yang justru berkurang. Masalahnya masyarakat cenderung sudah punya batasan harga untuk tiap produk yang ingin dibelinya, dan kenaikan harga ini akan membuat batasan itu terlewati. Akhirnya, kebanyakan masyarakat akan menahan diri untuk membeli sesuatu yang harganya sudah melewati batasan yang dibuatnya sendiri.

Ambil contoh begini. Sekotak keju batangan sudah terlanjur direkam dalam benak saya harganya sekitar sepuluh ribu. Saat inflasi membuat harga keju ini naik menjadi lima belas ribu lebih, saya akhirnya memutuskan untuk tidak membeli keju ini. Cerita selanjutnya adalah, saya harus memilih antara mencari produk keju merk lain yang harganya lebih murah atau beli keju yang merknya sama tapi ukurannya lebih kecil. Pilihan kedua ini dirasa lebih realistis buat saya karena saya tidak harus beradaptasi dengan produk lain (yang rasanya dan mutunya belum tentu sama), dan saya hanya harus lebih berhemat karena kini keju yang saya beli ukurannya lebih kecil.

Demikianlah mindset ini telah merasuk kedalam benak sebagian besar masyarakat dalam menyikapi kenaikan harga ini. Produsen pun tak kalah pintar, dengan cepat mereka menangkap sinyal ini dan bereaksi dengan membuat produk mini yang harganya dirasa masih terjangkau oleh masyarakat. Akhirnya jangan heran bila tahun-tahun belakangan ini banyak sekali produk konsumsi dan produk rumah tangga yang dikemas dalam ukuran kecil, bahkan terlalu kecil menurut saya. Sebut saja susu cair dengan ukuran kotak yang kecil, biskuit yang sebungkus isinya cuma dua, roti tawar yang isinya cuma empat lembar, es krim mini dan masih banyak lagi.

Bagi konsumen, prinsipnya yang penting membeli. Meski hanya dapat yang kecil, tapi harga jualnya masih dalam batasan yang diperbolehkan (oleh batasan mereka). Mereka tidak peduli kalau barang yang dibelinya akan lebih cepat habis (karena lebih kecil) dan ujung-ujungnya mereka harus membeli lagi (bila masih kurang). Bagi produsen, tentu yang penting penjualan laris, dan ini tidak akan terwujud bila tidak dilakukan terobosan dengan produk mini yang terjangkau.

Muncul tanda tanya di benak saya. Bagaimana bila suatu saat nanti produk mini ini harganya pun semakin mahal? Okelah, sekarang keju kecil ini harganya cuma lima ribu. Bila nanti keju kecil ini sudah jadi sepuluh atau dua puluh ribu, siapa yang mau beli? (anggap pendapatan masyarakat tidak banyak berubah). Masalahnya bukan pada pendapatan dan daya beli yang rendah, dan jangan salahkan kebanyakan orang kenapa mereka tidak kaya. Karena bila harga terus membumbung tinggi, hanya masalah waktu saja hingga orang kayapun (suatu saat nanti) akan menjadi miskin. Masalahnya ada di sistem tatanan ekonomi negara ini yang amburadul, dengan distribusi uang yang tidak merata, dan ditambah ekonomi biaya tinggi yang membuat lingkaran setan tanpa ujung. Ah....

2 komentar:

  1. menarik, menarik. iya ya, ketika yang supermini pun jadi supermahal, lantas mau ngapain? ya pembelinya harus puasa atau beli yang supermini buat dibelah2 jadi kecil.

    BalasHapus
  2. merkur casino
    merkur casino - Merkur Free Merkur 메리트 카지노 쿠폰 online casino merkur 1xbet 100 free spins, bonus code, games, bonus หาเงินออนไลน์ code, kur 25, bonus code, kur 25, bonus code.

    BalasHapus